TKI-Ku Sayang TKI-ku Malang

Teks & jepretan berbagai sumber

Medan|"Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa. Dan budak bagi bangsa-bangsa lain" Kutipan dari salah satu karya Pramoedya, pujangga modern Indonesia, itu terkesan sarkastis. Namun begitulah kenyataannya jika menyoroti persoalan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sebagian besar dari ratusan ribu TKI yang tersebar di seluruh dunia berprofesi sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Pekerjaan yang dahulu diserahkan kepada para 'budak'.

Maka tak heran jika sebagian TKI diperlakukan bak seorang budak. Dianiaya, diperkosa dan didzolimi. Ketika mereka melawan untuk melindungi harkat dan martabatnya sebagai manusia, ia kemudian menghadapi ancaman nyawa. Bahkan sistem hukum yang menjadi acuan bangsa-bangsa modern pun tidak berpihak kepada mereka.

Itulah yang terjadi pada Ruyati, Tursilawati dan para TKI lain yang terancam hukum mati. Sebagian memang lantaran terjerat kasus narkoba dan kriminal. Tapi tak jarang pula karena membela diri dari perlakuan 'perbudakan' modern.

Sungguh teriris hati kita menyimak data yang disodorkan oleh pimpinan DPR RI terkait hukuman mati (TKI) yang berada di luar negeri. Menurut wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar, Priyo Budi Santoso, saat ini diperkirakan sebanyak 218 TKI terancam hukuman mati di beberapa negara. Di antaranya 151 orang di Malaysia, 43 orang di Arab Saudi, 22 di China dan 2 di Singapura dua orang. TKI yang berada di Arab Saudi, kata "Sebanyak lima orang TKI di Arab Saudi sudah divonis pancung," kata Priyo. Sementara di Malaysia sebagian besar dalam proses hukum karena kasus narkoba.

Sedangkan TKI yang berada Singapura sampai saat ini juga masih dalam proses hukum. Yang menarik, Di China hukuman mati untuk TKI diubah menjadi seumur hidup, lalu diubah lagi menjadi 20 tahun penjara karena berkelakuan baik.

Tampaknya, hukum di China terkesan lebih beradab ketimbang hukum di Arab Saudi yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Kasus terbaru di Arab Saudi menimpa seorang TKI bernama Tuti Tursilawati. Ia didakwa bersalah karena diduga membunuh majikan yang mempekerjakannya.

Kementerian Luar Negeri RI dan Satgas yang bekerja untuk advokasi perlindungan TKI mengungkap bahwa Tuti membunuh akibat mengalami kekerasan sehari-hari dan ancaman perkosaan. Toh ia tetap dinyatakan bersalah dan tidak mendapat maaf dari keluarga korban.

Eksekusi direncanakan dilakukan setelah perayaan Idul Adha atau diperkirakan bulan November. Banyak pihak mendesak pemerintah RI, melalui Kementerian Luar Negeri dan Satuan Petugas pengawas TKI, memberikan info yang jujur, benar dan secepatnya kepada keluarga Tuti.

Proses hukum Tuti sudah hampir final dan cara untuk menghindarkan Tuti dari hukuman mati adalah dengan pemberian maaf dari keluarga majikan. Karena itu, pemerintah harus mengupayakan permohonan kepada keluarga korban untuk memaafkan Tuti.

Pemerintah diharapkan segera menangani permasalahan Tuti agar kasus seperti Ruyati tidak terulang, sehingga mencoreng nama diplomasi Indonesia di mata dunia.

Beberapa anggota Dewan rupanya geram dengan pemerintah yang terkesan lamban menangani penyelesaian kasus TKI di Arab Saudi. Karena itu, sejumlah politisi DPR dari lintas partai dan komisi mendeklarasikan terbentuknya Kaukus TKI di Gedung DPR Senayan, Jakarta, pada Jumat kemarin.

Sepertinya negeri ini terjebak dengan Ironi TKI. Sistem 'perbudakan' modern itu menjadi drama di panggung ekonomi hingga politik. Namun, derita TKI di negeri orang sepertinya tidak akan kunjung selesai. Mereka tetap saja menjadi korban perlakuan biadab dari majikannya di negeri seberang.

Tragisnya, para TKI itu luput dari perlindungan negara. Buktinya, ada TKI yang dibunuh majikannya, tetapi baru diketahui setelah tiga tahun kemudian.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itulah nasib para pahlawan devisa negara ini. Miris, rekaman tragedi kemanusian terus diputar. Jika kasus ini terus terulang karena tidak ada penanganan serius dari pihak berwenang, maka terbukti sudah perkataan sastrawan besar, Pramoedya Ananta Toer.

Sebagian besar TKI yang bekerja di luar negeri berjenis kelamin perempuan. Mereka bekerja di sektor Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT), yang sangat rentan dari ancaman kekerasan.

Sayangnya, kebijakan negara untuk melindungi buruh migran itu masih sangat lemah. Hal itu dilatar belakangi oleh banyak faktor. Faktor utamanya adalah posisi tawar (bargaining position) diplomasi pemerintah Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak warga negaranya masih sangat lemah.

Menurut pengamat internasional Djawahir Tantowi, diplomasi RI terkait TKI kurang bergengsi. Penyebabnya, negara ini tidak memiliki perjanjian dalam perlindungan hak pekerja asing. Indonesia sebagai negara pengirim TKI belum meratifikasi konvensi internasional mengenai HAM, termasuk buruh migran.

Parahnya, negara penempatan TKI juga tidak memiliki instrumen hukum internasional tersebut. Karena itu, upaya diplomasi untuk merperjuangkan buruh migran tidak memiliki daya ikat yang memadai. Negara-negara tujuan TKI bisa dengan mudah menghindar dari tangung jawab hukum. Andai saja Indonesia dan negara tujuan TKI sudah meratifikasi hulum internasional terkait buruh migran, maka kasus kekerasan terhadap TKI bisa dibawa ke forum internasional.

Mengingat hal itu, Indonesia harus merintis ratifikasi buruh migran dan menjalin kerja sama perlindungan dengan negara tujuan TKI. Minimal mempercepat pembuatan payung hukum yang sifatnya bilateral. "Bentuknya bisa berupa memorandum of understanding (MoU)," ungkap Djawahir.

Tak Ada Payung Hukum

Akibat tak ada payung hukum internasional, praktik ilegal pengiriman TKI menjadi marak. Begitu pula, tidak ada sanksi berat terhadap para agen penyalur TKI. Mereka mengirim TKI yang rendah SDM, sehingga menjadi hambatan saat bekerja pada majikan di luar negeri yang berbeda budaya.

Situasi tersebut membuat kontrol negara terhadap nasib TKI menjadi sangat lemah. Tak heran jika ada TKI yang meninggal dibunuh majikannya, tapi baru 3 tahun kemudian baru terlacak oleh otoritas negara.Alih-alih pemerintah melindungi keamanan TKI, memantau keberadaan TKI saja kesulitan.

Sejatinya, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sudah mengembangkan diplomasi ketenagakerjaan berdasarkan perspektif gender. Kepala BNP2TKI Moh.

Jumhur Hidayat menyebut, diplomasi itu diawali dengan langkah penguatan perspektif gender, termasuk langkah menyiapkan calon TKI yang berkualitas serta memenuhi semua persyaratan untuk bekerja ke luar negeri dan persyaratan kesehatan calon TKI.

Instansi terkait harus mengoptimalkan semangat dan fungsi perlindungan terhadap TKI agar tidak lagi mengalami kekerasan. TKI juga harus dijaga martabatnya serta terjamin hak-hak serta sesuai pekerjaannya di luar negeri. “Sekurang-kurangnya diplomasi gender dapat meminimalisasi permasalahan TKI PLRT secara signifikan,” kata Jumhur.

Upaya membangun peran tersebut juga dilakukan dengan meningkatkan kualitas penempatan TKI sejak di dalam negeri. Yakni melalui pengetatan proses dokumen calon TKI maupun sistem pelatihan calon TKI 200 jam yang kini berlaku.

Jumhur berharap, dengan diplomasi gender upaya penempatan dan perlindungan TKI lebih paripurna, humanis, sekaligus dapat menyentuh akar permasalahan TKI. Mudah-mudahan konsep tersebut bukan sekedar lips service. Sebab nasib ratuan ribu TKI dipeertaruhkan.

Hukum Pancung Ancam TKI

Hukuman pancung yang mengancam Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Majalengka, Tuti Tursilawati (27), usai Lebaran Haji nanti, menambah deretan panjang buruknya penanganan masalah TKI di negeri ini. Pasalnya, menurut data terbaru ada sedikitnya 218 TKI yang menanti hukuman mati.

Data yang sangat fantastis itu terungkap dalam penjelasan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso dalam press conference deklarasi Kaukus TKI di Gedung DPR, Senayan Jakarta Jumat (14/10/2011). Dari jumlah itu di antaranya 151 TKI berada di Malaysia, 43 TKI di Arab Saudi, 22 TKI di China, dan 2 Tki di Singapura.

“Angka ini sangat mengejutkan, terbanyak ternyata bukan di Arab Saudi, tapi di Malaysia. Kalau di Singapura hanya dua orang, kita sudah mendapatkan nama mereka yakni Sri Nurhayati, dan Fitriah Wahyuni,” urai Politisi Partai Golkar ini.

Masih tingginya angka kasus yang menimpa TKI di luar negeri, kata Priyo, sangat prihatin. Dia menilai, pemerintah tidak serius menangani setiap persoalan yang menimpa para pahlawan devisa ini. “Saya sedih, karena pemerintah tidak menunjukkan sikap keseriusannya dalam menangani para kasus TKI kita di luar negeri,” keluhnya.

Dengan tegas Priyo meminta pemerintah untuk menghentikan pengiriman TKI, terutama yang bergerak di sektor domestik. Di samping itu, pemerintah juga perlu menyewa pengacara yang ditugaskan membela para TKI yang bermasalah di luar negeri.

“Moratorium saja tidak cukup, tapi perlu ditegaskan bahwa pemerintah harus menghentikan pengiriman TKI, khususnya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kecuali yang memiliki keahlian, seperti perawat,” ujar Priyo.

Kasus Tuti Tursilawati yang terancam hukuman pancung di Arab Saudi, lantaran diduga membunuh majikannya, Suud Malhaq Al Utibi pada Maret 2010. Tuti mengaku terpaksa untuk menghindari pelecehan seksual.

Dalam penyelesain kasus ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengirimkan surat kepada Raja Arab Saudi pada 7 Oktober 2011 untuk mengupayakan permintaan maaf dari keluarga korban. Presiden juga mengutus Wakil Ketua Satgas TKI/WNI diluar negeri Alwi Shihab untuk mengawal surat tersebut

Langkah Kongkrit

Anggota Aliansi Masyarakat Sipil Anti-Hukuman Mati, Indriastuti, menegaskan, harus ada langkah kongkrit pemerintah untuk mencegah eksekusi mati TKI di luar negeri, lewat diplomasi tingkat tinggi antara Presiden RI dengan Raja Arab Saudi.

Indriastuti, kepada Gatra News, Sabtu (15/10), lewat ponsel, mengatakan, diplomasi yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, diharapkan bisa membatalkan putusan eksekusi mati terhadap Tuti Tursilawati dan 26 buruh migran lainnya.

Aliansi ini juga mendesak agar pemerintah Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi segera menghapuskan hukuman mati, atau minimal moratorium hukuman mati, sebagai bentuk komitmen menghormati hak asasi manusia.

Selain itu, kinerja Satgas Pembelaan untuk TKI Yang Terancam Hukuman mati harus dilakukan. “Kinerja dan laporan Satgas harus diaudit. Sepertinya kerja Satgas terlalu lamban, bahkan sampai sekarang tidak ada sikap resmi,” katanya.

Jika Tuti Tursilawati dan TKI lainnya dieksekusi, Aliansi Masyarakat Sipil Anti Hukuman Mati menuntut Presiden SBY, Menteri Luarnegeri, Menteri Tenaga Kerja dan Trasnmigrasi, serta Kepala BNP2TKI harus mengundurkan diri dari jabatan lantaran gagal melaksanakan mandat konstitusi.

Semestinya, pemerintah menunjukan masalah ini adalah penting dan segera melakukan diplomasi khusus dengan negara-negara yang terdapat TKI yang diambang hukuman mati. Terlebih Indonesia adalah negara yang tercatat sebagai pihak konvensi hak sivil dan politik yang melindungi hak hidup sebagai hak asasi manusia.

“Jadi, ada kewajiban lebih besar pemerintah Indonesia menjaga penikmatan hak ini oleh warga negaranya, termasuk yang ada di luar negeri. Sayang, presiden dan para menteri malah sibuk kasak kusuk reshuffle kabinet. Sungguh ironis!,” terangnya.

Aliansi Masyarakat Sivil Anti hukuman Mati adalah kumpulan dari 44 organisasi dan 6 tokoh masyarakat di tanag air, antara lain; Migrant CARE, Kontras, Imparsial, ELSAM, KWI, DEMOS, ICW, Wahid Institut, Perempuan Mahardhika, INFID, Romo Benny Susetyo, dan Usman Hamid


Diplomasi Ala DPR

Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso menegaskan, anggota Dewan akan menempuh jalur diplomasi untuk menyelamatkan TKI yang terancam hukuman mati. "Kami akan melobi negara-negara yang menerapkan hukuman mati itu," ujarnya saat temu jurnalis dalam rangka deklarasi Kaukus DPR Untuk Perlindungan TKI, di ruang wartawan I Gedung Nusantara III, Jumat (14/10/2011).

DPR akan menggunakan parlemen sebagai jalur diplomasi dengan negara-negara tujuan TKI, terutama negara yang menerapkan hukuman mati, seperti Malaysia, Arab Saudi, China, dan Singapura.

Jalur diplomasi yang akan ditempuh DPR, antara lain pada pertemuan OKI di Palembang mendatang. “Kami akan mengajukan klausul terkait hukuman mati,” kata Priyo.

Pelaksanaan hukaman mati di beberapa negara berbeda. Seperti di China, jika terpidana mati berkelakuan baik di penjara dalam jangka waktu tertentu, hukumannya bisa dikurangi menjadi seumur hidup.

DPR juga mengusulkan agar pemerintah membentuk pengacara tetap yang memantau dan mendampingi TKI yang bermasalah dengan hukum, agar pemerintah tidak gelagapan karena baru tahu setelah TKI dihukum mati.

Menunjuk pengacara tetap di beberapa negara untuk memantau dan memberikan advokasi hukum, tentu memerlukan dana. Namun DPR menjamin akan menggolkan usulan tersebut demi melindungi TKI di luar negeri.”Alokasi dana pasti akan kami loloskan,” katanya












Related

Dedi Suhardi 6004511951042893899

Posting Komentar

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

MENGUTAMAKAN KEPENTINGAN RAKYAT

Connect Us

item